KONSULTAN HUKUM MOHAMAD YUSUP, SH.,LL.M.

Berkomitmen Memberikan Jasa Hukum Secara Profesional

Selasa, 05 Februari 2019

ADVOKAT DI SERANG BANTEN - EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

PENGERTIAN 

Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”.
Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam makalah ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata.
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara (M. Yahya Harahap, 1988: 5).
Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya (Abdul Manan, 2005: 313).
Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri. DASAR HUKUM EKSEKUSI Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan :
  • Pasal 195 – Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 – Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi secara umum);
  • Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);
  • Sedangkan Pasal 209 – Pasal 223 HIR/Pasal 242 – Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
  • Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi);
  • Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);
  • Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).

ASAS EKSEKUSI

Untuk menjalankan eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:

  1. Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).

Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni:
  • Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
  • Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);
  • Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.

Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah:
  • Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad);
  • Putusan provisi;
  • Putusan perdamaian;
  • Grose akta hipotik/pengakuan hutang.
  1. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir).
Maksudnya, pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar putusan yang berbunyi :
  • Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“ sesuatu barang;
  • Menghukum atau memerintahkan “pengosongan“ sebidang tanah atau rumah;
  • Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ suatu perbuatan tertentu;
  • Menghukum atau memerintahkan “penghentian“ suatu perbuatan atau keadaan;
  • Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ pembayaran sejumlah uang

  1. Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela
Maksudnya, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.
  1. Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg]
Maksudnya, bahwa pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga secara ex officio (ambtshalve) kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).
  1. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.
Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.

MACAM EKSEKUSI
Pada dasarnya ada (2) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang” (M. Yahya Harahap, 1988: 20). Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 (dua) macam eksekusi, yaitu (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu; (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg (Abdul Manan, 2005: 316).

  1. Eksekusi Riil
Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.

  1. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang.

Minggu, 28 Oktober 2018

Kisi-Kisi Sual UTS Pendidikan Pancasila


UJIAN TENGAH SEMESTER

Sekolah Tinggi                        : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan/Program Studi           : Ilmu Pemerintahan
Mata Kuliah                             : Pendidikan Pancasila
SKS                                         : 2 sks
Semester                                : I (satu)
Dosen                                      : Mohamad Yusup, S.H.,LL.M.
Sifat Ujian                               : TERTUTUP

Perhatian:
1.    Berdoalah sebelum mengerjakan soal ujian.
2.    Mahasiswa dilarang membawa HP dan atau menggunakan HP selama ujian (guna terlaksananya ketentuan ini maka dimohon kepada Panitia Pengawas Ujian agar memerintahkan mahasiswa agar meletakkan tas & HP nya di depan Papan Tulis) .
3.    Pengawas tidak akan menegur atas pelanggaran yang dilakukan, namun akan menjadi catatan keras atas pelanggaran yang dilakukan dan melaporkannya ke Dosen Pengampu Mata Kuliah.
SOAL UJIAN

  1. Dalam rangka mensyukuri karunia kemerdekaan, silahkan mengidentifikasi dan menguraikan sekurang-kurangnya 1 fenomena permasalahan sosial yang menurut Anda tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,.
  2. Berikan penjelasan tentang apa pentingnya pendidikan Pancasila  sesuai dengan jurusan/program studi yang sedang ditempuh?, Bagaimana relasi antara pendidikan Pancasila dan program Studi Anda?, Bagaimana relasi antara tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa dan tujuan pendidikan Pancasila dan tujuan program studi Anda?
3.    Deskripsikan cara-cara pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dalam kehidupan masyarakat di sekitar Anda atau dalam organisasi yang ada di sekitar Anda? bentuk kearifan yang timbul ketika musyawarah itu berlangsung? Dan apakan hal tersebut mencerminkan nilai-nilai Pancasila ?
  1. Dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Juni 1945 Soepomo menyebutkan 3 Teori negara yaitu Teori Perseorangan, Teori Negara Kelas, dan Teori integralistik, berikan penjelasan ketiga teori tersebut ! 
  2. Dalam sejarah perumusan Pancasila, proses pembahasan dasar negara oleh BPUPKI yang kemudian dilakjutkan oleh  PPKI, diperoleh fakta sejarah terdapat perbedaan pandangan mengenai sila ke-1? Jelaskan letak perbedaan tersebut !,
Selamat Mengerjakan

Kisi-Kisi Soal UTS Hukum Tata Negara 2018


Fakultas                                 : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan/Program Studi       : Administrasi Negara
Mata Kuliah                           : Hukum Tata Negara
Kode Rombel                                    : AN.6.A
SKS                                        : 2 sks
Semester                                : VI (enam)
Dosen                                     : Mohamad Yusup, S.H.,LL.M.
Sifat Ujian                              : TERTUTUP

Peraturan:
1.    Berdoalah sebelum mengerjakan soal ujian.
2.    Mahasiswa dilarang membawa HP dan atau menggunakan HP selama ujian (guna terlaksananya ketentuan ini maka dimohon kepada Panitia Pengawas Ujian agar memerintahkan mahasiswa agar meletakkan tas & HP nya di depan Papan Tulis) .
3.    Pengawas tidak akan menegur atas pelanggaran yang dilakukan, namun akan menjadi catatan keras atas pelanggaran yang dilakukan dan melaporkannya ke Dosen Pengampu Mata Kuliah.
SOAL UJIAN

1.    Hukum tata negara dapat dimaknai dalam arti  luas dan dalam atri sempit, berikan penjelasan anda!.
2.    Menurut Herman Heller pengertian konstitusi dapat dilihat dari tiga pengertian, yakni konstitusi dalam arti Politis sosiologis, yuridis, dan tertulis, berikan penjelasan!
3.    Jelaskan menurut saudara arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara?
4.    Jelaskan  apa yang anda ketahui tentang Piagam Madinah sebagai konstitusi ? dan nilai-nilai apa yang terdapat dalam  Piagam Madinah?
5.    Berikan penjelasan mengenai materi muatan Konstitusi menurut A.A.H. Struycken ?
6.    Nawiasky dalam Theorie stufenaufbau (teori batu piramida) menjelaskan tentang Staatsfundamental Norm dan Staatsgrundgesetze, jelaskan maksud dan kerurusan dua konsep tersebut dalam hirarki peraturan hukum dan kontekskan dengan konstitusi di Indonesia !
7.    Sumber hukum tata Negara dibedakan menjadi Sumber Hukum Formil dan Sumber Hukum Materiil, deskripsikan penerapan sumber HTN dalam sebuah kasus HTN?
8.    Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam HTN umumnya ada 5 sumber yang diakui sebagai sumber hokum, sebutkan?
9.    Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bentuk-jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, sebutkan secara sistematis!
Selamat Mengerjakan

Rabu, 05 Juli 2017

Pengacara Serang Banten - Arti “Bukti Permulaan yang Cukup” dalam Hukum Acara Pidana



Arti “Bukti Permulaan yang Cukup” dalam Hukum Acara Pidana

Pasal 17 KUHAP menyatakan: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu? Apa yang menjadi dasar bahwa bukti itu dinyatakan "cukup"?
Jawaban :
Intisari:


"Bukti permulaan yang cukup" pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) harus dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, yaitu:
a.    keterangan saksi;
b.    keterangan ahli;
c.    surat;
d.    petunjuk;
e.    keterangan terdakwa.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Bukti Permulaan yang Cukup
Sebelumnya, mari kita simak bunyi lengkap Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai berikut:

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

KUHAP dengan tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.[1][1]

Jadi, bicara soal Pasal 17 KUHAP, maka pasal ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi:

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Merujuk pada Pasal 17 beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Namun kemudian, dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP

Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a.    keterangan saksi;
b.    keterangan ahli;
c.    surat;
d.    petunjuk;
e.    keterangan terdakwa.

Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Penjelasan lebih lanjut silakan Anda simak MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan.

Fungsi Bukti Permulaan yang Cukup
Terkait kedua pasal ini, Chandra M Hamzah dalam bukunya Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup menjelaskan bahwa pada dasarnya, fungsi bukti permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu merupakan prasyarat untuk:[2][2]
1.    Melakukan penyidikan;
2.    Menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Terhadap kategori pertama, Chandra M. Hamzah menjelaskan bahwa fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana dan selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan melakukan suatu penyidikan. Sedangkan terhadap kategori kedua, fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan bahwa (dugaan) tindak pidana tersebut diduga dilakukan oleh seseorang.[3][3]

Chandra M. Hamzah mengutip pendapat dari Yahya Harahap yang menyatakan bukti permulaan yang cukup setidaknya mengacu pada standar minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud Dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP[4][4] yang berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Landasan berpikir dari 2 (dua) alat bukti tampaknya terdapat pada kesinambungan antara proses hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dinyatakan oleh Lamintang sebagai berikut:[5][5]

Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terdapat orang tersebut dilakukan penangkapan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Putusan:

Referensi:
Chandra M. Hamzah. Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014.



[1][1] Penjelasan Pasal 17 KUHAP
[2][2] Chandra M. Hamzah, hal. 6
[3][3] Chandra M. Hamzah, hal. 6
[4][4] Chandra M. Hamzah, hal. 17
[5][5] Chandra M. Hamzah, hal. 17